Selasa, 01 Januari 2013

(Renungan 80 Tahun Tanpa Khilafah)


MENGAPA HARUS KHILAFAH?
(Renungan 80 Tahun Tanpa Khilafah)

Sepanjang Abad 20 hingga kini, dunia yang kita diami diwarnai dengan persoalan-persoalan pelik yang tidak selesai diatasi umat manusia, sekalipun teknologi yang dimilikinya jauh lebih baik daripada zaman sebelumnya. Umat manusia kini memiliki dunia yang hampir seperti tanpa masa depan.  Hal ini terjadi karena dunia dipimpin oleh suatu ideologi yang tidak manusiawi dan tidak membawa rahmat bagi seluruh alam, yakni kapitalisme-sekular, yang tidak menghendaki campur tangan agama dalam mengatur kehidupan. Karena itu, ideologi ini sesungguhnya tidak memiliki misi suci yang berorientasi mencerahkan dan mengentaskan seluruh manusia dari kegelapan, kemiskinan, atau ketertindasan. Kalaupun ia mengatasnamakan nilai-nilai universal seperti HAM atau demokrasi, maka itu hanya sekadar jalan untuk mempermudah aksesnya dalam menguras kekayaan ekonomi bangsa lain.  Inilah ideologi yang saat ini diterapkan dan disebarkan ke seluruh dunia oleh kekuatan-kekuatan negara besar, terutama Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis.
Berbeda dengan kapitalisme-sekular, Islam adalah sumber ideologi yang sejatinya bersifat manusiawi,  membawa rahmat bagi siapa saja—karena sifatnya yang berimbang, serta tidak menjajkah atau bersifat eksploitatif atas manusia lain. Ini karena Islam diturunkan oleh Allah SWT yang sangat mengerti sifat-sifat dan kebutuhan manusia serta apa yang dapat membuat manusia sengsara atau bahagia. Fakta empiris menunjukkan, bahwa Islam memang pernah benar-benar menjadi ideologi yang memimpin dunia tatkala ia diterapkan dan disebarkan oleh sebuah kekuatan besar, yaitu Daulah Islamiyah. Negara ini secara de facto didirikan oleh Rasulullah saw. di Madinah pada 12 Rabiul Awwal, bertepatan dengan 23 September 622. Pasca Nabi saw., Negara ini terus berlanjut dalam format  negara Khilafah Islamiyah.  Kepemimpinan Khilafah  Islamiyah ini berlangsung terus, dengan pasang surutnya, hingga 3 Maret 1924, yakni tatkala secara resmi Khilafah yang berpusat di Istambul Turki, dibubarkan.  Meski periode khalifah yang baik dan buruk datang silih berganti, negara Khilafah secara de facto tetaplah negara yang diperhitungkan dunia selama 13 abad, dan pada saat itulah kaum Muslim juga diperhitungkan.
Pada saat Khilafah masih ada, tak cuma kaum Muslim yang terlindungi kehormatannya, namun peradaban dunia seluruhnya.  Kita tidak akan mengenal peradaban Yunani kuno (seperti matematika atau kedokteran), andaikata peradaban Islam yang maju pesat di bawah naungan Khilafah tidak menyelamatkannya dan terus mengembangkan ilmu pengetahuan; justru ketika Eropa diterpa zaman kegelapan akibat permusuhan gereja terhadap para ilmuwan.
Khilafah Islam pernah menaungi ratusan etnis yang berbeda-beda, yang membentang dari tepi Atlantik di Barat sampai sebagian Cina di timur, dan dari tepi Sahara di selatan sampai Kaukasus di utara, tanpa diskrimasi atau penjajahan. Kekuasaan yang besar itu maju bersama. Para ulama bermunculan di segenap penjuru. Mereka berkarya dalam bahasa Arab—sebagai bahasa negara kesatuan saat itu—walaupun mereka bukan etnis Arab. 
Kesatuan yang besar itu terbukti efektif untuk mengatasi kesulitan akibat bencana alam yang melanda sebagian negeri atau serangan orang-orang kafir terhadap negeri-negeri Islam. Kita menyaksikan bagaimana kaum Muslim bisa dipersatukan, tanpa sekat-sekat ras, ketika mereka menghadapi serangan tentara Salib, atau ketika mereka menghadapi serbuan Tartar yang membumihanguskan Bagdad tahun 1258.  Bagdad boleh saja hancur, Khalifah boleh saja terbunuh, namun Khilafah Islamiyah tidak bubar karenanya. Di seluruh penjuru negeri, Islam masih diterapkan—ekonomi masih ekonomi Islam, pendidikan masih pendidikan Islam, hukum masih hukum Islam. Karena itu, dalam waktu singkat, tiga tahun kemudian, kaum Muslim cepat berkonsolidasi, lalu mengalahkan Tartar, bahkan sebagian tentara Tartar justru masuk Islam.  Abad-abad selanjutnya juga Khilafah kembali jaya. Tahun 1453, Konstantinopel, ibukota kekaisaran Byzantium Romawi, berhasil dibuka oleh kaum Muslim—dan menjadi Istambul. Abad 17 kekuatan kaum Muslim masih menguasai separuh Eropa. Bahkan sebagian pemeluk Protestan di Hungaria atau Austria justru memohon perlindungan kepada Khilafah dari ancaman raja-raja Katolik yang berkuasa.
Itulah yang terjadi sampai akhirnya dakwah di dalam umat Islam mengalami kemunduran.  Akibatnya, pasokan sumberdaya manusia berkualitas menyusut.  Teknologi yang sebelumnya dikembangkan untuk menopang jihad terabaikan sampai suatu ketika tiba-tiba tersalip kemajuan di Barat, “revolusi Industri”.  Pada saat itu, umat Islam tidak serta-merta kembali menggenggam erat kepemimpinan ideologi Islam, namun justru mulai meniru Barat, bahkan sampai ke sistem perundang-undangnya. Akibatnya, bukannya bangkit, umat Islam malah makin terpuruk.
Pada Perang Dunia I, agen-agen Barat memancing agar Negara Khilafah—yang sudah sakit-sakitan itu—terlibat. Secara de facto mereka telah menghabisi Khilafah pada akhir Perang Dunia I itu, dengan dikuasainya banyak wilayah Khilafah oleh Inggris dan Prancis.  Kemudian, untuk menghabisi sama sekali sistem Khilafah, mereka menugaskan Kemal Attaturk, yang seolah-olah bak pahlawan, untuk memproklamirkan berdirinya Republik Turki, sebagai syarat ditariknya pasukan asing dari Turki.  Pada 3 Maret 1924, secara resmi Attaturk membubarkan Khilafah, seraya mengusir Khalifah terakhir, yaitu Abdul Madjid II.
Setelah Khilafah bubar, Barat makin leluasa untuk menerapkan dan menyebarkan ideologi kapitalistik-sekularistiknya ke seluruh dunia, terutama ke Dunia Islam yang kaya sumberdaya alam.  Pertengahan abad-20, upaya itu dihambat oleh Uni Soviet yang berusaha menerapkan dan menyebarkan ideologi sosialisme-komunisme. Namun, pada akhir abad-20, Amerika Serikatlah yang memimpin dunia dengan ideologi kapitalistik-sekularistiknya. 
Akibatnya, umat Islam kini semakin jauh dari misi yang pernah dibebankan Allah kepada mereka, yaitu misi merahmati seluruh alam, seperti yang pernah berhasil dibuktikan oleh Daulah Khilafah. Jangankan merahmati seluruh alam, melindungi mereka sendiri saja, seperti di Palestina, Bosnia, Cechnya, Kashmir, Xin Jiang, Moro, Afganistan, dan Irak, mereka tidak mampu.
Hal ini karena misi tersebut memang hanya mampu dilaksanakan dalam suatu barisan yang terpimpin suatu formasi ideologis. Tanpa formasi yang rapi, energi 1,5 miliar umat Islam tidak akan fokus. Bukankah Amerika Serikat, Inggris, Prancis, atau Uni Soviet juga hanya mampu melaksanakan misi ideologis mereka dalam suatu formasi dan struktur yang rapi, dengan negara sebagai panglimanya? Negara mereka peduli menjalankan pendidikan, mengembangkan teknologi, menerapkan ekonomi yang menjamin kemakmuran bangsanya, dan politik luar negeri yang melindungi kepentingan warganya di seluruh dunia.  Mereka bahkan menempatkan misi-misi budayanya di seluruh dunia, juga misi-misi militer, termasuk kapal-kapal induk dan selam bertenaga nuklir, hampir di seluruh samudera.
Suatu struktur hanya bisa ditandingi dengan struktur pula. Sejarah membuktikan bahwa adidaya Romawi dan Persiapun akhirnya tunduk oleh sebuah struktur, yakni Daulah Islamiyah yang didirikan oleh Rasulullah—sekalipun struktur tersebut pada saat awalnya sangat kecil (hanya sebesar Madinah) dan juga secara ekonomi, teknologi, maupun militer lemah.  Namun demikian, mereka memiliki ideologi Islam yang kuat dan orang-orang yang meyakini akidah atau ideologi itu yang sangat kuat.
Karena itu, tidak bisa tidak, struktur seperti Daulah Islamiyah atau Khilafah Islamiyah itu kembali dinantikan oleh dunia ini untuk bisa menandingi struktur yang zalim, yang mengemban ideologi kapitalistik-sekularistik. Tentu saja Khilafah Islamiyah yang akan berdiri kembali ini bukanlah negara utopia. Dia adalah negara modern dalam arti menggunakan teknologi dan manajemen yang mutakhir. Namun, visi, dan misinya adalah qurani; seluruh perangkat hukumnya hanya semata-mata digali dari Islam; yakni dari al-Quran, as-Sunnah, Ijma Sahabat, dan Qiyas, dengan olah ijtihad tanpa henti dari para ahli ijtihad.
Mendirikan kembali Khilafah tentu tak semudah membalik tangan, juga tak “semudah” melakukan kudeta militer yang penuh kekerasan (power of muscle), maupun memenangkan pemilu dengan dukungan logistik (power of money). Kita harus benar-benar memahami sejarah perjuangan Rasulullah dalam menngubah permikiran dan perasaan umat sehingga mereka bersedia memperjuangkan penerapan Islam sekalipun menanggung penderitaan yang luar biasa.  Inilah kepemimpinan pemikiran (power of mind, qiyadah fikriyah), yang merupakan kunci dari kesuksesan para nabi.
Karena itu, semua gerakan dakwah, para ulama dan cendekiawan, juga tokoh-tokoh politik, sudah saatnya bersama-sama mengkaji dan menggali lebih dalam bagaimana sesungguhnya konsep dan sistem Khilafah itu. Rasulullah dalam berbagai hadisnya mengabarkan kepastian kembalinya lagi Khilafah, setelah era kekuasaan-kekuasaan sekular (mulkan jabariyyan), sebagainamana beliau pernah meramalkan dibukanya Konstantinopel. Pertanyaannya, sudahkah kita menjadi bagian dari orang-orang terbaik yang memiliki kontribusi dalam proses ini? Allah SWT berfirman:
]وَعَدَ اللهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي اْلأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لاَ يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ[
Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik. (QS. An-Nûr [24]: 55)
           Sekali lagi pertanyaannya, siapkah kita memenuhi panggilan Islam untuk kejayaan kita kaum Muslimin? Mari kita renungkan firman Allah SWT:
]يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اسْتَجِيبُوا ِللهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ[
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul jika Rasul menyeru kalian pada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kalian. (QS al-Anfal [8]: 24). []
KOMENTAR:
'Islam Berhak Diperlakukan Adil'. (Republika Online, 24/2/2004).
Musuh-musuh Islam tak mungkin bersikap adil pada Islam. (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 120 dan 217).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar